Pemerintah harus memikirkan pembinaan untuk PTS termasuk dalam hal akreditasi.
Jumlah perguruan tinggi swasta (PTS) jauh lebih besar dari perguruan tinggi negeri (PTN). Tapi, perhatian pemerintah kepada PTS justru masih sangat minim.
Di sisi lain, pemerintah juga masih bersikap diskriminatif dalam pengalokasian dana bagi perguruan tinggi (PT) di Jawa dan luar Jawa.
Hal itu dikatakan Ketua DPR Marzuki Alie dalam diskusi bertema Masa Depan Pendidikan Tinggi di Indonesia yang digelar oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di kampus Universitas Indonesia, Depok, hari ini.
Isi diskusi terkait rancangan undang-undang pendidikan tinggi (RUU Dikti). Hadir, antara lain, Ketua Panitia Kerja RUU Dikti Syamsul Bachri, Dirjen Dikti Djoko Santoso, Ketua Majelis Rektor PTN sekaligus Rektor Universitas Hasanuddin Idrus Paturusi, Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri, dan Sekjen Asosiasi PTS Suyatno.
Marzuki mengungkapkan jumlah PTS mencapai 2.887 sedangkan PTN hanya 83. Total mahasiswa adalah 4,7 juta, sedangkan jumlah dosen mencapai 155 ribu.
"Pemerintah hanya berperan 2,7 persen saja dari segi jumlah PT. Tidak bisa dinafikan, jumlah PTS yang sebenarnya mayoritas tidak mendapat perhatian. Padahal, peran PTS sangat vital untuk mendidik anak-anak bangsa demi masa depan bangsa Indonesia," kata Marzuki.
Marzuki mengatakan, pemerintah harus memikirkan pembinaan untuk PTS termasuk dalam hal akreditasi. Menurutnya, jika pemerintah tidak mau memberikan pembinaan maka lebih baik sekaligus tidak menerbitkan izin bagi PTS tersebut.
"Jangan hanya mengurusi yang negeri saja. Bapak kan irjen pendidikan tinggi, bukan dirjen pendidikan tinggi negeri. Ini saya sampaikan supaya jangan melecehkan yang swasta karena ini adalah tanggung jawab," ujarnya.
Dia menambahkan, terjadi ketidakadilan dalam pendistribusian dana antara PT di Jawa dan luar Jawa. "Universitas Sriwijaya, saya lulus S1 dan S2 di sana, baru tahun lalu mendapat perhatian besar," katanya.
Menurutnya, RUU Dikti harus mampu menjawab persoalan pendidikan tinggi saat ini. Di antaranya, mengatasi pengangguran terdidik atau sarjana menganggur baik dari PTS maupun PTN. Selain itu, RUU Dikti harus bisa mengakomodasi prinsip link and match yaitu lulusan PT harus bisa memenuhi kebutuhan industri.
Dia juga meminta pasal dalam RUU Dikti tidak membuat multitafsir. Misalnya terkait pemberian bantuan kepada PTS. Pemerintah seharusnya bukan "dapat" melainkan "wajib" membantu PTS.
"Pastikan kalimat jangan multitafsir, tapi kalau ya, katakan ya, kalau tidak katakan tidak. Kalau tidak begitu bahaya, harus lobi sana sini, lobi ke banggar (badan anggaran). Lobi-lobi seperti itu yang buat negara ini rusak," tandasnya.
Marzuki menuturkan, PT seharusnya memberikan pencerahan kepada mahasiswa saat baru memasuki tahun pertama perkuliahan. Mahasiswa harus ditantang tentang cita-cita atau tujuan hidupnya sehingga sejak awal mereka bisa mempersiapkan diri.
"Pada saat masuk mereka diberi pencerahan. Anda masuk kesini mau jadi apa? Kalau cuma mau habiskan uang saja, rektor harus bilang, saya tidak perlu uang Anda. Anda sejak masuk harus punya cita-cita," katanya.
Dia mengakui alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen APBN belum berdampak signifikan kepada biaya pendidikan. Di tingkat pendidikan tinggi, biaya masih relatif mahal.
Penyebabnya adalah anggaran pendidikan tidak sepenuhnya dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tapi, lebih banyak dikirim ke daerah.
"Ini tugas DPR bagaimana memotong anggaran pendidikan di luar Kemdikbud," tutur Marzuki.
Sementara itu, Dirjen Dikti Djoko Santoso mengatakan pemerintah memberi perhatian kepada PTS dalam RUU Dikti. Urusan akademik PTS diatur pemerintah, sedangkan urusan non-akademik diatur yayasan.